Masyarakat Anti Mafia Tanah Indonesia (MAMTA)

Official Website di www.mamtaindonesia.com

Fenomena mafia tanah di Indonesia yang semakin merajalela merupakan masalah krusial yang ekstra ordinary. Menurut ombudsman, kasus mafia tanah yang terjadi di Indonesia lebih dari 2.000 kasus. Sementara menurut Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), kasus mafia tanah mencapai 3.000 -an kasus, hanya sedikit sekali yg bisa diselesaikan pemerintah baik eksekutif maupu yudikatif, sebagian besar semakin mengukuhkan kepemilikan para penjahat mafia tanah.

Menurut data Kementerian ATR/BPN, sejak 2020, jumlah pengaduan agraria yang diterima Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) sebanyak 202 kasus, kasus korupsi atau pungli 13 pengaduan, pertanahan atau perumahan 239 pengaduan, masalah hukum atau peradilan 294 pengaduan, lingkungan hidup 1 pengaduan dan umum/lain-lain 7 pengaduan, total sebanyak 766 kasus.

Dari sisi sertifikasi dan pendaftaran tanah, kinerja pemerintah masih sangat lambat. Dari 126 juta bidang tanah, baru 51 juta bidang tanah yg terdaftar. Sisanya, 79 juta bidang tanah belum terdaftar/bersertifikat. Kementerian Agraria/BPN hanya mampu mendaftarkan atau mensertifikatkan 1 juta bidang tanah per tahun. Artinya, BPN butuh waktu 79 tahun utk menuntaskan 79 juta bidang tanah yg belum terdaftar / yg belum bersertifikat.

Lambatnya proses pemberian sertifikat sebagaimana dipaparkan di atas, menimbulkan dampak yang buruk bagi masyarakat, pertama, menimbulkan ketidak-pastian hukum kepada masyarakat tentang status kepemilikan ha katas tanah. Kedua, masyarakat juga sangat dirugikan karena kondisi di atas semakin menimbulkan maraknya mafia tanah. Ketidak pastian soal pertanahan dan agraria ini, dapat menimbulkan kekacauan (chaos) di masyarakat, karena terseret ke dalam konflik yang berkepanjangan. Mafia tanah tersebut sangat merugikan masyarakat, termasuk bangsa dan negara.

Kondisi kehampaan sertifikat tanah ini semakin memicu dan membuka peluang terjadinya perampasan tanah secara melawan hukum. Yang lebih tragis lagi adalah lahan tanah dan perkebunan yang nyata-nyata secara legal telah dimiliki rakyat, dapat dirampas oleh para konglomerat dengan kekuatan permodalan besar yang sebenarnya dananya diambil dari hasil perampokan lahan perkebunan atau pertambangan tersebut. Para penjahat mafia tanah tersebut berkerja sama dengan oknum pejabat dan oknum aparat penegak hukum.

Akibatnya konflik agraria kembali meluas secara massif , tidak hanya di lokasi-lokasi tradisional seperti di kawasan sekitar hutan dan perkebunan melainkan juga di kota-kota, pesisir dan pulau kecil.

Menurut Irmansyah Mingka, Direktur Eksekutif Masyarakat Mafia Tanah (MAMTA), Kejahatan mafia tanah bukan hanya terjadi di instansi yang membidangi pertanahan saja, tetapi juga terjadi di instansi kehutanan melalui perizinan pengelolaan, pemanfaatan/pengunaaan, pelepasan kawasan, pinjam pakai, kemitraan, jasa lingkungan.

Kejahatan mafia tanah juga terjadi di instansi yang membidangi pertambangan melalui perizinan kontrak kerja, wilayah izin usaha pertambangan, izin operasi, produksi dan eksplorasi.

Lemahnya penegakan hukum oleh penegak hukum menjadi pintu yang luas bagi para penjahat mafia tanah untuk merampas hak milik orang lain. Merajalelanya para penjahat mafia tanah karena hokum pertanahan bisa dibeli dengan uang. Oknum hakim yang lemah moralnya, demikian pula oknum kepolisian yang rendah integritasnya, oknum aparat kejaksaaan, oknum KPK, bisa tidak berdaya karena kehadiran fulus yang melimpah. Karena itu diharuskan kekuatan moral dan idealisme yang kuat bagi para penegak hukum dan pemerintah eksekutif seperti kementerian ATR/BPN.

Berdasarkan sejumlah fakta dan fenomena di atas, kehadiran perkumpulan masyarakat anti mafia tanah (MAMTA) yang focus berjuang untuk menegakkan keadilan dan membela korban mafia tanah, sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan memberikan edukasi, bimbingan, konsultasi agraria sehingga masyarakat terlindungi hak-haknya.

Pranata Masyarakat Anti Mafia Tanah (MAMTA) juga dapat menjadi mediator para pihak dan pemangku kepentingan agraria dalam rangka membangun kerjasama yang bersinergi di tingkat lokal, nasional dan internasional.

MAMTA juga membangun sinergi dan kolaborasi dengan pihak penegak hukum untuk mengatasi dan memberatantas kejahatan mafia tanah di Indonesia, seperti Kementerian ATR-BPN, Kejaksaan, Kepolisian, KPK, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Perguruan Tinggi, Lembaga Konsultan Hukum, Notaris dan Advokat, dsb.

MAMTA turut serta dan proaktif mengawal pelaksanaan reformasi agraria land reform di Indonesia untuk tujuan menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil. MAMTA memberikan kontribusi pemikiran dan pertimbangan yang konstruktif kepada semua sektor Pemerintah dalam menyusun kebijakan reforma agraria nasional serta masukan yang konstruktif kepada semua aparat penegak hukum, Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, kejaksaaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Problematika pertanahan yang tidak kalah urgennya di Indonesia adalah ketimpangan dan ketidakadilan distribusi tanah. Akumulasi kekayaan dan penguasaan tanah di tangan segelintir konglomerat menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Dalam dokumen “Menuju Indonesia yang Lebih Setara: Laporan Ketimpangan Indonesia” (INFID-OXFAM 2007) dinyatakan bahwa kekayaan empat orang Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Salah satu pintu besar masuknya aset ke personil super kaya (para konglomerat) adalah melalui korporasi.

Segelintir pengusaha raksasa tersebut mengapitalisasi aset-aset masyarakat dan Negara dengan menggunakan mekanisme legalitas tanah. Tidak sedikit di antaranya dilakukan dengan perampasan tanah secara tidak sah dan melawan hukum yang dibarengi dengan praktik korupsi ( suap-menyuap) dengan para penegak hukum.

Syariah sangat mengecam ketidak adilan yang berlaku dalam sektor agraria ini. Syariah sangat anti kepada perilaku korup dalam pengelolaan Negara apalagi menzalimi rakyatnya sendiri, dalam 20 tahun terakhir proses terkonsentrasinya kekayaan di Indonesia terus meningkat dari sektor ekstraksi sumber daya alam seperti sawit, pertambangan batubara, emas, maupun mineral lain, serta dari bidang teknologi informasi dan keuangan.

Tanah-tanah milik Negara, tanah milik masyarakat adat dan milik masyarakat umum semakin berkurang karena beralih menjadi milik perusahaan besar dan konglomerat secara individual, tanah dimonopoli secara tidak adil, Negara disubordinasi dengan kekuatan modal besar secara tidak bermoral (suap dan risywah), sehingga negara kehilangan kuasanya atas tanah untuk kepentingan keadilan sosial akibatnya tanah semata digunakan untuk kepentingan kekayaan segelintir orang, yang dominan asing pula.

Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Saat ini Indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai puncak ketimpangan yang tinggi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah agraria di Indonesia
Menurut data terbaru KPA tersebut , sebanyak 68 % tanah di Indonesia telah dikuasai oleh 1% kelompok minoritas pengusaha dan korporasi skala besar, terutama para konglomerat. Sisanya diperebutkan oleh 99 persen masyarakat.
Indeks ketimpangan penguasaan lahan ini merupakan yang terburuk sejak Undang Undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960 disahkan.

Atas dasar dan latar belakang itulah MAMTA didirikan. Dengan demikian, kehadiran MAMTA sebagai perkumpulan masyarakat yang peduli kepada masalah pertanahan sangat strategis karena MAMTA akan berjuang untuk membela rakyat dan menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai pengejawentahan dari Pancasila dan UUD 1945.

Oleh karena itu di dalam Anggaran Dasar MAMTA disebutkan dengan tegas bahwa tujuan pendirian MAMTA:

  1. Membantu dan membela masyarakat korban mafia tanah di Indonesia
  2. Memberikan edukasi hukum agraria kepada masyarakat Indonesia
  3. Memberikan konsultasi tentang strategi mengatasi konflik pertanahan di semua sector, kehutanan, perkebunan, pertambangan, property, dan industry lainnya
  4. Membangun sinergi dan kolaborasi dengan pihak penegak hukum untuk mengatasi dan memberantas kejahatan mafia tanah di Indonesia, seperti Kementerian ATR-BPN, Kejaksaan, Kepolisian, KPK, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Perguruan Tinggi, Lembaga Konsultan Hukum, Notaris dan Advokat, dsb.
  5. Memberantas kemiskinan rakyat nusantara dan mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dengan upaya redistribusi tanah secara adil untuk kesejahteraan bangsa, termasuk dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
  6. Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama pertanahan, kehutanan, perkebunan dan pertambangan
  7. Membantu Masyarakat dalam Pengurusan Sertifikat Tanah
  8. Membantu Pengurusan Pembebasan Kawasan Hutan menjadi budi daya perkebunan serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup
  9. Membantu Perubahan fungsi, Peruntukan Kawasan Hutan dan Pemanfa’atan Hutan
  10. Membantu masyarakat dalam mengurus izin pertambangan , pertanahan dan lingkungan hidup
  11. Menghimpun Masyarakat Korban Mafia Tanah Indonesia baik di sector pertanahan, kehutanan, perkebunan, pertambangan, property dan pusat-pusat bisnis
  12. Mendorong dan Meningkatkan kualitas layanan pertanahan untuk berbagai kepentingan yang sah dan halal demi terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia yang adil.

==============
*Penulis adalah Associate Professor Agustianto, Salah satu Founding Father MAMTA dan Pemimpin Pergerakan Ekonomi Syariah di tanah air sejak tahun 1990-an, baik di dunia pendidikan/Perguruan Tinggi maupun di praktik perbankan, keuangan dan sektor riil

lawfirmjustitia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *